Perkembangan Generative AI yang eksplosif telah menempatkan regulator di seluruh dunia dalam posisi sulit, tak terkecuali Indonesia. Di satu sisi, AI menawarkan potensi luar biasa untuk mendorong inovasi ekonomi dan efisiensi. Di sisi lain, ia membawa risiko disinformasi massal, bias algoritmik, dan disrupsi pasar tenaga kerja.
Pemerintah kini berpacu dengan waktu untuk merumuskan kerangka regulasi. Fokus utamanya adalah etika dan tata kelola. Pertanyaan kuncinya adalah: Siapa yang bertanggung jawab jika AI membuat kesalahan yang merugikan? Bagaimana memastikan AI tidak menghasilkan konten hoaks atau diskriminatif? Dan bagaimana melindungi hak cipta kreator di era konten yang dihasilkan mesin?
Salah satu pendekatan yang dipertimbangkan adalah ‘prinsip berbasis risiko’. AI yang digunakan di sektor kritis seperti kesehatan atau keuangan akan tunduk pada pengawasan yang jauh lebih ketat daripada AI untuk hiburan. Transparansi juga menjadi isu utama—pengguna harus tahu kapan mereka berinteraksi dengan AI, bukan manusia.
Tantangan terbesarnya adalah menciptakan aturan yang tidak membunuh inovasi. Regulasi yang terlalu ketat dapat membuat startup teknologi lokal kalah bersaing dengan raksasa global. Namun, regulasi yang terlalu longgar bisa membuka kotak pandora masalah sosial dan etika.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Keputusan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan menentukan apakah AI menjadi alat pemberdaya kemajuan bangsa atau justru menjadi sumber kekacauan baru. Menemukan keseimbangan antara inovasi dan keamanan adalah tugas terberat bagi regulator saat ini.

